Oleh : Dedi Hermanto,S.Pd
Solok,PRnewspresisi.com–Zaman dahulu,profesi guru disebut sebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Sebutan ini melekat berkat dedikasi dirinya terhadap dunia pendidikan. Produk yang dikeluarkan dari dunia pendidikan itulah tidak sedikit orang yang menjadi pintar, kaya, bermoral, dan bertanggung jawab.
Tidak bisa dibayangkan jika dalam dunia pendidikan itu tanpa peran seorang guru, sangat mustahil bisa mencetak sosok generasi bangsa yang berkualitas. Dunia sudah berubah, Begitu juga dengan nasib seorang guru. Cap ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ yang dulu disandang oleh guru mempunyai makna sangat mendalam.
Guru berjuang bukan untuk tujuan materi, Namun merupakan panggilan hati untuk mendidik anak Bangsa yang terbebas dari kebodohan dan Resiko perjuangan ini berdampak pada kehidupan guru dan keluarganya.
Hal ini bisa kita lihat dari perbandingan ekonomi guru masa kini (di era sertifikasi) dan masa lalu (sebelum sertifikasi). Sangat jelas terlihat bahwa guru di masa lalu, gaji yang diperolehnya tidak cukup dan pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan orientasi guru waktu itu tidak lebih hanya sekedar mengajar dan berupaya mencerdaskan anak didiknya.
Karakteristik itu terlihat sangat murni. Oleh sebab itu, guru di masa lalu tidak banyak mendapat kecaman, cacian, atau bahkan kritikan. Guru masa lalu dianggap punya jiwa murni sebagai pengajar sekaligus pendidik. Sangat wajar bila dia diberi gelar ‘pahlawan’.
Lantas, bagaimana dengan kehidupan sosok guru sekarang? Guru diera sekarang identik dengan sertifikasi. Sertifikasi merupakan program pemerintah yang berupaya meningkatkan kesejahteraan guru dengan sejumlah tunjangan. Artinya, di masa sekarang profesi guru sangat diperhatikan oleh pemerintah. Nasib guru sudah berubah, lebih baik dibandingkan dengan zaman dulu. Sehingga, dalam konteks ini, terkadang terjadi kontroversi mengenai profesi guru, antara yang pro dan kontra.
Bagi yang kontra, profesi guru dianggap sangat sakral dan mulia. Ia tidak boleh disusupi kepentingan-kepentingan lain yang bisa menghilangkan kemuliaan profesi itu. Sebagaimana yang terjadi di desa-desa, profesi guru mengalahkan status orang-orang kaya. Guru sangat dihormati dan disegani. Walaupun tidak mempunyai harta banyak, namun dalam anggapan masyarakat sangat mulia. Bisa dikatakan, orang miskin yang dihormati dan disegani adalah seorang guru.
Di sini, paradigma masyarakat tentang profesi guru melebihi pejabat. Sebab, dari tangan guru itulah, anak-anak mereka bisa menjadi anak sukses, pintar, dan jadi orang kaya. Selain itu, profesi guru juga sebagai simbol moralitas yang berjalan. Artinya, guru itu sudah diklaim – selalu mengajarkan kebaikan-kebaikan melalui perbuatannya.
Pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” sebagai justifikasi guru yang seharusnya mencerminkan kepribadian apik terhadap anak didiknya dan masyarakat. Tidak heran apabila guru di tengah masyarakat menjadi pusat perhatian karena dianggap sebagai sosok yang bermoral. Sebab, kosa kata ‘guru’ sendiri memiliki arti positif dalam bahasa Jawa, yakni sing digugu dan sing ditiru artinya ‘ yang didengar dan dicontoh.’ Dengan begitu, guru masa lalu dianggap tidak memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Yang terlintas di benak mereka hanya menjadi pendidik sejati. Hal ini dikarenakan tidak adanya tunjangan fungsional dari pemerintah, sehingga mamantapkan hati dan pikiran mereka untuk lebih fokus pada pengabdian pendidikan.
Berbeda setelah adanya program sertifikasi guru. Profesi guru dianggap sangat menjanjikan. Minat masyarakat, terutama lulusan perguruan tinggi untuk menekuni profesi guru, kian besar. Hal ini tidak lepas dari segudang tunjangan yang diberikan pemerintah. Bisa dikatakan, penghasilan guru bisa berlipat-lipat, yakni antara gaji pokok guru dan tunjangan-tunjangan. Sehingga, pendidikan jurusan guru dianggap memiliki masa depan jelas, yang lebih menjanjikan bagi kesejahteraannya.
Tentunya pemberian tunjangan itu,idealnya, harus diimbangi dengan semangat kualitas para guru, kedisiplinan, dan kejelasan sistem pengajaran. Sebab itulah, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Nomor 11 Tahun 2011, guru sertifikasi harus mengikuti pelatihan profesi guru dan harus mempunyai gelar strata satu (S1).
Hal ini setidaknya sebagai bekal untuk meningkatkan profesi guru agar lebih berkualitas. Seorang guru tidak hanya dituntut mengajar, namun juga harus bisa membuat Rencana Pelaksana Pembelajaran (RPP) sebelum proses belajar. Walaupun begitu, satu hal yang mengganjal di hati publik bahwa profesi guru sertifikasi cenderung berorientasi pada materi. Secara naluriah, setiap orang yang hidup pasti membutuhkan itu untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya. Akan tetapi, orientasi tersebut tidak boleh menghilangkan stigma jiwa kepahlawanan seorang guru sebagai pengabdi untuk masyarakat di bidang pendidikan karena setumpuk materi yang dikejar.
Kalau orientasi ini kian menguat maka bisa menjadi problem sosial karena yang dituju guru bukanlah mengajar, tapi mencari uang. Tidak dapat dipungkiri, program sertifikasi semata-mata berasal dari pihak pemerintah yang hendak menjadikan kualitas hidup guru bisa lebih sejahtera. Niat baik itu tidak bisa disalahkan. Yang perlu diluruskan adalah pihak-pihak yang sudah keliru mamaknai tujuan itu. Bahwa profesi guru yang dianggap pahlawan (hero) bagi masyarakat, jangan sampai berubah seiring biasnya orientasi.
Dengan begitu harus terjadi keseimbangan niat antara berjuang dan mencari nafkah.Berjuang merepresentasikan bahwa guru memang benar-benar hendak menciptakan anak didiknya agar terbebas dari kebodohan dan menjadi manusia yang bermoral. Nilai ini perlu dipelihara. Sebab, kepahlawanan guru, menurut publik, terletak pada posisi ini.
Orang sudah yakin bahwa dengan memasukkan anak didiknya ke dalam dunia pendidikan, baik formal maupun non formal, diharapkan dapat terbentuk manusia-manusia pintar yang utuh dan bermoral.