oleh Zico Alviandri (Penulis)
PRnewspresisi.com–Guru ngaji pasang tarif. Ia juga butuh penghidupan dan harus menafkahi keluarga. Tarifnya tidak mahal, tapi memang jadi tidak gratis. Lantas orang-orang marah. “Kalo jadi guru ngaji itu harus ikhlas! Jangan minta bayaran.” Begitu kata mereka.
Bank syariah mengambil untung dari usaha mereka. Dari akadnya jelas beda dengan bank konvensional, juga sistemnya yang dijaga oleh pakar syariah. Tapi banyak yang menilai bank syariah tidak murni syariah, bukan dinilai dari sistem transaksinya, melainkan karena keuntungan yang diambil dianggap terlalu besar. “Bank syariah harus ikhlas, gak pantes ngambil untung banyak-banyak.”
Gaji guru kecil. Mereka mengeluh. Menjadi topik pembicaraan di media sosial. Lantas ada warganet menulis komentar, “itu kan pengabdian. Harus ikhlas!”
Kadang standard masyarakat itu suka membingungkan. Ikhlas sendiri bila konteksnya dalam agama adalah memurnikan ibadah hanya kepada Allah SWT.
PKS adalah partai politik. Mereka berjuang untuk merebut kekuasaan agar diisi oleh orang-orang yang mereka kader. Mereka punya sistem pembinaan untuk menjaga integritas kadernya dan sekaligus ajang pembekalan agar anggotanya siap mengisi jabatan publik dengan amanah.
Ketika PKS mencoba memperjuangkan kadernya sendiri untuk menjadi pejabat publik, ia dijegal oleh partai lain. Biasalah namanya dunia politik penuh intrik. Namun penjegalan itu ditambah lagi dengan omongan publik: “PKS harus mengalah! Harus ikhlas! Katanya partai Islam, kok nafsu berkuasa?”
Sebagian kalangan inginnya PKS hanya menjadi kendaraan bagi orang yang diidolakan mereka. Kalau sampai PKS tidak mendukung tokoh itu, PKS dicap berkhianat.
Jangan gitu dong. Yang saya tahu, PKS memang terbuka untuk mendukung orang yang dianggap baik dan tepat. Tetapi antara PKS dan orang tersebut harusnya sejajar dan sebagai partner. Partai berwarna oranye ini punya struktur rapi sampai ke tingkat kelurahan bahkan RW, punya sumber daya manusia yang kompeten juga. Tentu mereka tidak mau kalau sekadar menjadi pundak yang diinjak oleh sosok yang ingin naik di dunia politik.
Baiklah, kita masuk saja ke pembahasan tentang Anies Baswedan yang sedang ramai dibicarakan. Banyak yang mengecam kalau PKS sampai tidak jadi mengusung mantan gubernur Jakarta itu, dianggap PKS telah berkhianat.
Bagi saya PKS dan Anies sama-sama pihak yang baik. Idealnya mereka bisa bekerjasama untuk kembali memerintah di Jakarta. Anies sebagai gubernur, kader PKS wakilnya.
Tapi saya juga harus siap dengan kemungkinan lain. Kalau tidak dapat dua-duanya, saya ingin salah satunya bisa memimpin Jakarta. Karena PKS partai politik, tentu saja mereka berjuang supaya kekuasaan di Jakarta bisa direbut dan diserahkan kepada kader yang terbina.
Pun tak masalah Anies berjuang pula dengan cara lain agar bisa maju di Pilgub. Kalau ada partai lain yang mengusung kadernya sebagai Cawagub Anies lalu mengabaikan PKS, tidak bisa dilarang. Apalagi kalau Anies juga mau. PKS tidak bisa “mengunci” Anies karena sudah mendeklarasikan M Sohibul Iman sebagai calon wakilnya.
Idealnya Anies dan PKS berpasangan. Kalau tidak, mudah-mudahan masing-masing maju meski berhadapan. Kalau tidak bisa juga, mudah-mudahan salah satu dari mereka ada yang bisa berlaga.
Yang saya tahu, sampai tulisan ini dibuat PKS masih berusaha untuk mendaftarkan Anies berpasangan dengan kadernya ke KPU nanti. Masalahnya belum ada partai lain yang mau bergabung, sementara kursi PKS kurang. Nanti bila waktunya mepet, mau tak mau PKS menjalankan opsi lain yaitu berpasangan dengan calon yang tersedia yang kursinya cukup.
Ada anggapan bahwa PKS besar karena Anies. Kalau dijawab bahwa PKS dibesarkan kadernya, dianggap jawaban itu sombong. Padahal anggapan PKS besar karena Anies itulah bentuk kesombongan (yang di dalam hadits didefinisikan: menolak kebenaran dan meremehkan orang). Karena mengecilkan segala ikhtiar kader PKS selama ini.
PK(S) sudah berdiri sejak tahun 1999, jauh sebelum mendukung Anies. Partai ini bukan partai gabut yang cuma giat jelang pemilu/pilkada. Mereka punya sistem kaderisasi, kader-kadernya aktif berkiprah mengisi banyak majelis ta’lim, kader wanitanya punya kegiatan pemberdayaan wanita, relawannya selalu siaga membantu di daerah bencana, bakti sosial menjadi agenda andalan, dan lain sebagainya. Anggapan Anies membesarkan PKS jelas menihilkan kerja-kerja itu semua.
Kampanye AMIN di JIS didominasi oleh atribut PKS. Suara AMIN dari TPS, kecamatan, kota/kabupaten sampai nasional dijaga oleh saksi-saksi dari kader PKS. Tahun 2017 PKS merelakan kadernya batal berlaga demi mengusung Anies di pemilihan gubernur. Di Pilpres kemarin pun tanpa ada kadernya yang maju PKS all out mendukung AMIN.
Saya rasa rekam jejak PKS sudah cukup jelas ketika memberikan dukungan kepada seseorang. Namun sebagai partai, mereka harus dihormati untuk menentukan langkah sendiri. Mereka punya anggota yang kompeten, punya struktur, punya basis massa, punya agenda yang rapi, tidak bisa didikte dengan kata-kata “harus ikhlas dong!”