oleh : AS.Laksana (Penulis)
PRnewspresisi.com–BERLATIH menulis seharusnya sama saja dengan berlatih keterampilan-keterampilan lain, seperti memainkan alat musik atau berolahraga. Teknik drill—latihan berulang dengan fokus pada penguasaan komponen-komponen dasar—bisa sangat efektif dalam memperkuat dasar-dasar menulis.
Drill membantu menanamkan pola-pola dan membangun kebiasaan yang nantinya bisa diakses secara otomatis saat menulis. Pada anak-anak, teknik ini lebih mudah diterapkan, sebab mereka masih berada dalam tahap perkembangan. Otak mereka lebih plastis dan lebih terbuka terhadap pembentukan kebiasaan baru.
Pada mereka yang baru belajar menulis setelah dewasa, teknik ini lebih sulit diajarkan. Pertama, orang dewasa cenderung memiliki kebiasaan dan pola berpikir yang sudah tertanam kuat. Kebiasaan-kebiasaan ini, termasuk cara mereka menulis, bahkan kalaupun itu kebiasaan buruk, sering kali sulit diubah karena sudah menjadi bagian diri mereka. Drill, yang membutuhkan latihan berulang, ketekunan, dan kesabaran, bisa terasa membosankan dan menyiksa bagi mereka yang tidak terbiasa dengan metode ini.
Kedua, orang dewasa sering kali memiliki ekspektasi yang berlebihan tentang diri sendiri. Mereka merasa tidak selayaknya diajar dengan teknik dasar secara berulang, seperti kepada anak-anak, terutama jika hasilnya tidak segera terlihat. Ini bisa membuat mereka enggan berlatih, atau menyerah sebelum benar-benar mencoba. Selain itu, pikiran orang dewasa cenderung sibuk dengan berbagai urusan hidup. Mereka sulit menemukan waktu dan mengerahkan energi untuk melakukan drill secara konsisten.
Ketiga, ada perbedaan dalam cara anak-anak dan orang dewasa belajar. Anak-anak lebih terbuka terhadap eksperimen dan eksplorasi tanpa beban. Mereka bisa menerima instruksi langsung dan menikmati proses drill sebagai bagian dari permainan atau tantangan. Orang dewasa, sebaliknya, biasanya lebih fokus pada hasil akhir daripada proses. Ini bisa menghambat penerapan latihan dengan teknik drill. Mereka akan merasa bahwa drill terlalu kaku dan kurang relevan dengan tujuan besar yang mereka bayangkan, seperti menulis esai atau cerita yang memukau banyak orang.
Saya mencoba mengatasi hal ini dengan meminta mereka berlatih menulis per bagian saja. Misalnya, membuat kalimat pembukaan yang kuat, membuat deskripsi sensorik, membuat paragraf penutup, sebelum beralih ke aspek-aspek lain penulisan. Saya tahu ini tidak menyenangkan, sebab kebanyakan dari mereka ingin menulis langsung cerita utuh.
Saya pikir penting juga memberi tahu mereka bahwa metode drill bukanlah upaya merendahkan pemahaman mereka. Ini justru alat untuk memperbaiki dan memperkuat keterampilan mereka. Keberhasilan atau kegagalannya ditentukan oleh daya tahan mereka menghadapi situasi tidak menyenangkan dalam latihan itu dan bagaimana mereka bisa bersikap terbuka dan menjadikan otak mereka seplastis otak kanak-kanak.[]