Potongan kata “freedom of speech; or of the press” yang menunjukkan “free press” (pers bebas) bertujuan untuk melindungi penerbitan berita informasi dan pendapat.
Konstitusi yang memperkuat kebebasan pers itu disambut gembira oleh kalangan editor dan penerbit di Amerika Serikat.
Gaungnya terdengar hingga seluruh dunia, termasuk di bumi Nusantara. Meskipun demikian, perkembangan kebebasan pers secara global masih menghadapi tantangan dan hambatan.
Kini kebebasan pers dilaksanakan oleh media berskala luas, berbagai platform (cetak, online, radio, dan televisi).
Kenapa kini masih ada wartawan takut? Takut berpikir bebas, takut berpikir kritis?
Perlu berpikir ulang menekuni profesi wartawan, kalau pikirannya masih terbelenggu oleh berbagai hal yang membuat tidak mampu berpikir kritis.
Berpikir Kritis dan SkeptisBerpikir kritis bertumpu pada sikap yang meragukan terhadap segala hal, menyikapi dengan skeptis terhadap teks, baik pernyataan lisan, tertulis, atau simbol-simbol yang dirancang untuk menyampaikan informasi.
Sikap skeptis atau meragukan menjadi pangkal untuk mencari kebenaran. Kita ingat apa yang dikatakan oleh Rene Descartes (1596- 1650), filsuf Perancis yang menjadi bapak filsafat modern.
Ia mengatakan pernyataan filosofis yang sangat terkenal hingga saat ini, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, atau dalam Bahasa Inggrisnya “I think, therefore I am).
Pernyataan filosofis itu dapat ditemukan dalam bukunya Discourse on the Method (1637), dan Principles of Philosophy (1644).
Cogito, ergo sum, mengajarkan untuk selalu meragukan semua hal di segala bidang, dan selanjutnya berpikir secara kritis dan logis untuk mencari kebenaran melalui berbagai sisi.
Selama informasi masih diragukan, wartawan tidak boleh menjadikannya sebagai bahan berita. Kalau masih ragu, tinggalkan (doubt, leave it).











