Jakarta.PRnewspresisi.com—Dewan Pers mengadakan temu ramah dengan Menko Polhukam Prof. Mahfud MD, di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis (28/7). Temu ramah ini untuk mendiskusikan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Mahfud menjelaskan, draf RKUHP ini sudah lama dikupas Rencananya, RKUHP ini diterapkapn sebagai hadiah kemerdekaan Republik Indonesia.
“Masih ada waktu pembahasan. Mungkin jika ada kendala, bukan ditunda tapi dilakukan perbaikan. Yang jelas ada pasal yang membahayakan, ya dicoret atau direformulasi,” tutur Mahfud.
Menurut Mahfud, RKUHP tersebut dulu sudah akan diketok palu. Namun lantaran ada demo besar, presiden pada 2019 meminta pengesahannya ditunda.
Saat bertemu Menko Polhukam, Dewan Pers dipimpin ketuanya, Prof Azyumardi Azra. Ikut mendampingi M Agung Dharmajaya (wakil ketua), anggota Dewan Pers (Arif Zulkifli, Ninik Rahayu, Yadi Hendriana, dan A Sapto Anggoro. Hadir juga perwakilan anggota konstituen Dewan Pers, Sasmito Madrim, dan Ketua Bidang hukum, Arbitrase dan Legislasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat, Makali Kumar SH.
Dalam keterangan secara resmi Yang
Daniterima redaksi, kepada Dewan Pers, Mahfud meminta catatan reformulasi pada pasal-pasal yang dinilai bermasalah.
“Sampaikan reformulasi secara nyata sekaligus simulasinya. Besok akan saya sampaikan ke Kemenkumham. Wamenkumham akan kita panggil minggu depan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, KUHP adalah politik hukum penting, pemerintah berupaya secepatnya berlaku saat peringatan kemerdekaan nanti karena KUHP yang ada saat ini merupakan produk kolonial.
Namun, Dewan Pers Bersama masyarakat sipil lainnya melihat ada 14 pasal dan 9 klaster yang berpotensi melemahkan kebebasan pers. Maka perlu dihilangkan atau direformulasi. Menurut Mahfud yang didampingi Deputi Hukum dan HAM Sugeng Purnomo, ada sekitar 700-an pasal dalam RKUHP. “Jika ada masukan 14 pasal, maka jumlah itu tidaklah banyak,” kata Mahfud.
Pihaknya tidak mau memastikan penundaan berlakunya KUHP tersebut. Ia hanya menegaskan, sebelum RKUHP maju ke persidangan harus dikupas secara jelas. Menko Polhukam berjanji akan memanggil Kemenkumham untuk membicarakannya dan akan melibatkan Dewan Pers.
Sementara itu, Prof Azra melaporkan, pada 2018 Dewan Pers sudah mengajukan usulan delapan klaster pasal yang dinilai bermasalah. Namun, masukan dari Dewan Pers dan konstituen tidak diindahkan sama sekali. Dalam draf sekarang ini, urainya, malah ada sembilan klaster dari 22 pasal umum yang mengganggu hak berkebebasan, 14 di antaranya berkaiatan dengan kemerdekaan pers.
Dewan Pers juga sudah bertemu dengan konstituen Dewan Pers dan para pemangku kepentingan. Pertemuan dengan Kemkumham yang dipimpin Wamenkumham Prof Edward (Edi) Omar Sharif Hiariej dan tim perumus sudah dikerjakan Dewan Pers pekan lalu.
Rumusan reformulasi RKUHP diminta segera oleh Mahfud MD. Dewan Pers bekerja cepat, hari Kamis ini juga melakukan penyusunan reformulasi dengan menyertakan Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, ahli hukum Bivitri Susanti, mantan Ketua YLBHI Asfinawati, Tim LBH Pers dipimpin Ade Wahyudin, dan lain-lain.
Samsan Ngandro berkata pasal terkait dengan pers yang mengandung delik harus direvisi. Dewan Pers juga minta supaya pasal-pasal bermasalah dihapus atau direformulasi.
Arif Zulkifli mengatakan pemberitaan soal terorisme pun bisa dipermasalahkan karena harus lengkap. “Pemberitaan pers pasti yang terdepan dan belum lengkap. Demikian juga soal penghinaan pada presiden hingga lurah/kepala desa, bisa menjadi kasus,” paparnya.
Ia khawatir kelak ada self censorship yang tinggi di media, ini adalah bahaya bagi keberlanjutan kehidupan pers dan masyarakat.
Sedangkan Ninik membeberkan, masih ada waktu untuk mengawasi RKUHP. Dia berharap, pasal yang tak seharusnya ada bisa dikeluarkan. “Intinya adalah reformulasi,” kata dia.
Adapun Sasmito mengutarakan, secara prinsip AJI tidak menolak RKUHP itu. Tapi, RKUHP masih perlu perbaikan dan masukan dari masyarakat luas serta penyempurnaan sehingga tidak terburu-buru dilaksanakan.
Ketua Bidang hukum, Arbitrase dan Legislasi SMSI Pusat, Makali Kumar SH, hadir menggantikan Ketua Umum SMSI Firdaus, dalam pertemuan bersama Dewan Pers dan konstituennya, akademisi, pengamat hukum, serta praktisi hukum di Hotel Mercure, Sabang-Jakarta, Kamis (28/7/2022), yang kembali menyuarakan penolakan terhadap pasal-pasal RUU KUHP.
Maka dengan tegas menyatakan, banyak pasal-pasal RUU KUHP yang harus ditolak dan dihilangkan karena berpotensi untuk membatasi kebebasan pers di Indonesia.
Pasal-pasal RKUHP yang menjadi prioritas SMSI dan juga menjadi bahan musyawarah Dewan Pers dalam pertemuan tersebut sekitar 20 pasal, antara lain pasal 188, 218, 219, 220, 240, 241, 246, 248, 263,264 280, 302, 303, 304, 352, 353, 437, 440, 443, dan 447.
“Seperti pasal 263 dan 264 RKUHP yang didalamnya ada kata penyiaran dan berita. Frasa ini akan berpotensi menghambat kebebasan pers. Kita minta untuk dicoret atau dihilangkan dalam RKUHP, karena hal itu sudah diatur dalam UU no 40 tahun tentang pers,” jelas Makali.
Bersama rekan perwakilan organisasi konstituen dewan pers lainnya, Makali begitu gigih dalam diskusi itu, untuk menyuarakan kebebasan pers di Indonesia. Bahkan Makali juga minta pers dan konstituen Dewan Pers lainnya, serta berbagai kalangan pers untuk tetap solid dalam menyuarakan dan memperjuangkan ketidaksetujuan pasal-pasal tersebut secara maksimal di DPR RI. Jangan sampai, informasi yang mengatakan pada tanggal 16 Agustus 2022, DPR RI akan bersidang dan menetapkan RKUHP itu, menjadi kenyataan.
“Kita jangan kecolongan, kita awasi perjuangan kita, jangan sampai DPR mau mengakomodir perjuangan kita. Sehingga pasal-pasal yang akan merusak kemerdekaan pers di Indonesia sudah tidak ada lagi di RKUHP,” tegas Makali.
Dalam siskusi dewan pers di hotel Mercure tersebut, berlangsung pukul 09.00-19.00 WIB. Diskusi itu juga menghadirkan , pejabat penegak hukum, yakni Wakil Ketua Mahkamah Agung Rzi, Dr Andi Nganro SH MH, Humas Polri, Brigjen. Pol. Drs. Mohamad Hendra Suhartiyono, M.Si, dan utusan dari Kejaksaan Agung. (*)
Discussion about this post