Kemudian pada 2017, dalam pertemuan tingkat Menteri OKI, Indonesia meminta negara-negara OKI untuk memperhatikan nasib etnisminoritas Muslim Rohingya dan mendukung penyelesaian konflik menggunakan pendekatan konstrukstif (constructive engagement).
Pada 2018 Indonesia membawa isu Rohingya kedalam Konferensi Tingkat Tinggi OKI ke-45 yang menghasilkan Resolusi Nomor 59/4-POL on the Establishment of An OIC ad Hoc Ministerial Committee on Accountability for Human Rights Violations against the Rohingyas.
Dengan adanya resolusi tersebut, negara-negara Muslim diharapkan dapat solid bekerjasama dalam mencari bukti terkait pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) yang menimpa etnis minoritas Muslim Rohingya.
Berdasarkan paparan di atas, dukungan Indonesia terhadap penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya dipengaruhi oleh faktor Islam.
Bersandar pada pendekatan konstruktivisme yang mengakui pluralitas aktor dalam hubungan internasional, faktor Islam tercermin dari berbagai upaya Ormas Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, SOLIDER dan lain-lain dalam mendesak pemerintah untuk turut membantu penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaaan Rohingya.
Atas dasar itu, pemerintah pada akhirnya melibatkan secara langsung Ormas Islam maupun organisasi filantropi berbasis Islam dalam proses penyaluran bantuan kemanusiaan. Disamping itu, Indonesia juga semakin aktif membawa isu Rohingya dalam agenda diplomasinya di forum internasional seperti OKI.
Selanjutnya, ditinjau dari konsep identitas, lebih jelasnya sumber pembentukan identitas dari level domestik, dapat diketengahkan bahwa alasan yang melatarbelakangi mayoritas umat Islam di Indonesia vokal menyuarakan penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya disebabkan oleh adanya kesamaan identitas, yakni Islam.
Ini dapat dipahami, mengingat salah satu pemicu konflik Rohingya ialah konflik berdimesi agama yang melibatkan etnis minoritas Muslim Rohingya, etnis mayoritas Buddha Rohingya serta otoritas Myanmar yang mayoritas merupakan penganut Buddha.