Pada saat bersamaan, kalangan mufti juga dapat berperan sebagai mediator perdamaian bersama pemerintah. Peran ini bahkan dapat diperluas melintasi beragam komunitas dan agama.
Keterbatasan pemerintah anggota ASEAN dalam menyelesaikan berbagai persoalan seperti masalah Rohingya di Myanmar dan konflik bernuansa agama di Thailand Selatan dan Pilipina (Moro) seyogyanya dapat melibatkan kalangan tokoh lintas agama.
Hubungan diplomatik kontemporer yang selama ini dimonopoli oleh aktor negara tidak lagi menjadi pakem. Peran serta aktor non negara (non-states) dapat dilakukan oleh kalangan tokoh dan lembaga agama sebagai jalur alternatif diplomasi dewasa ini.
Kehadiran dan peran kalangan agamawan dalam fora diplomatik selama ini cenderung dinafikan, bahkan tidak dianggap penting, khususnya dalam perspektif hubungan internasional (HI) Barat yang sekuler dan memandang agama sebagai residu peradaban modern yang tak memiliki tempat dalam praktik maupun kajian disiplin HI.
Namun pada kenyataannya tesis sekularisasi dengan rasionalisasinya ternyata tidak mampu menjadikan umat manusia modern semakin jauh dari kehidupan agama yang dinilai identik dengan sesuatu yang irrasional dan tak sejalan dengan spirit modernitas.
Faktanya, di tengah arus sekularisme ternyata agama makin menunjukkan perannya dalam kehidupan manusia modern. Kegagalan lembaga-lembaga inernasional dalam menjaga perdamaian, salah satunya telah memberikan ruang gerak bagi kalangan agama untuk berperan dalam berbagai persoalan yang kerap ditimbulkan oleh arus modernitas.
Meski nampak hanya sebatas kilas balik sesaat kalangan agamawan dalam kehidupan sekuler, pada kenyataannya kenestapaan dunia akibat dampak modernitas yang berakhir pada kemiskinan, perang, konflik dan keterasingan manusia telah membuka jalan bagi kalangan agamawan untuk memainkan peran profetis agama.