Oleh: Dedi Hermanto,S.Pd
(Sekbid Informasi dan Komunikasi PGRi Kab.Solok )
Lebak,PRnewspresisi.com – Dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan kabar penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Dini Fitria, setelah dirinya menegur seorang siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Ironisnya, tindakan refleks sang kepala sekolah menampar siswa tersebut justru berujung pada sanksi dari pihak pemerintah provinsi.
Padahal, aturan tentang larangan merokok di sekolah sudah berlaku puluhan tahun dan menjadi bagian dari disiplin dasar dunia pendidikan. Siapa pun tahu, sekolah bukan tempat bagi perilaku yang merusak kesehatan dan moral.
Peristiwa itu terjadi Jumat, 10 Oktober 2025, saat pihak sekolah tengah melaksanakan kegiatan Jumat Bersih. Ketika berkeliling, Dini mendapati sekelompok siswa nongkrong di belakang kantin sambil merokok.
“Saya kaget, di tangannya ngebul. Saya tanya, ‘ngerokok ya kamu?’ suara saya mungkin agak kencang. Dia langsung lari, saya kejar,” ujar Dini, Selasa (14/10/2025).
Ia mengakui menampar siswa tersebut, bukan karena benci, melainkan karena refleks kesal melihat pelanggaran yang begitu nyata. “Saya marah sambil gemetar. Saya keplek (tampar) sekali, terus saya cubit di belakang. Namanya juga perempuan,” katanya lirih.
Namun sayang, niat mendidik dan menjaga wibawa sekolah itu justru berbuah sanksi. Kepala sekolah yang seharusnya mendapat dukungan atas ketegasannya kini malah harus menerima kenyataan pahit: dinonaktifkan oleh gubernur.
Fenomena ini menjadi potret getir dunia pendidikan saat ini.
Menjadi guru di zaman sekarang bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tapi juga bertahan dari salah paham. Ketika guru menegur murid yang melanggar aturan, niatnya adalah mendidik, bukan mempermalukan. Tapi di mata sebagian orang tua atau pejabat, teguran itu dianggap kekerasan.
Padahal, aturan bukan untuk menekan, tetapi untuk membentuk karakter.
Jika pelanggaran dibiarkan tanpa konsekuensi, bagaimana anak-anak belajar menghargai disiplin dan kejujuran? Dunia luar jauh lebih keras dari ruang kelas, dan guru tahu itu lebih dulu dari siapa pun.
“Guru yang marah bukan karena benci, tapi karena peduli,” ujar seorang pengamat pendidikan menanggapi kasus ini. “Kalau ketegasan guru dihukum, jangan heran kalau nanti tak ada lagi yang berani mendisiplinkan siswa.”
Kini, publik dibuat bertanya-tanya: apakah ketegasan masih punya tempat di dunia pendidikan kita? Menegakkan aturan bukanlah kekerasan, tapi bentuk cinta — cinta yang berani tegas demi masa depan anak didik.