Berikut ini adalah level elektoral partai dari yang terbesar yaitu; PDIP (22,1%), Gerindra (12,2%), Nasdem (7,9%), Golkar (7,6%), PKB (6,8%), Demokrat (5,3 %), PKS (4,2%), PPP (2,2%), PAN (1,9%), Perindo (1,6%), Partai Buruh (0,8%), PBB (0,5%), Partai Gelora (0,4%), PSI (0,2%), Partai Hanura (0,2%).
Di luar itu 1,4% responden menyatakan tidak akan memilih (golput), 15,1% merahasiakan pilihannya dan 9,7% tidak menjawab. Pada saat survei dilakukan Partai Ummat belum dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2024 sehingga namanya belum masuk ke dalam survei.
Fajar menuturkan bahwa pemilih cukup rasional karena menimbang program kerja (43%) sebagai pertimbangan utama dalam memilih partai politik. Selain itu, calon presiden yang diusung (18%) juga menjadi alasan yang ditimbang oleh pemilih. Hal ini memungkinkan terjadinya “efek ekor jas” dalam Pemilu 2024 nanti, dimana Capres yang diusung berdampak terhadap raihan elektoral partai politik. Hasil survei menunjukkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi partai politik baru karena peta politik sudah jenuh.
Partai lama relatif dominan menjadi pilihan masyarakat (65%), hanya sedikit (8%) masyarakat yang menimbang akan memilih partai baru. Dengan demikian, kehadiran partai baru tidak cukup punya peluang dalam dinamika kontestasi elektoral.
Selain memiliki elektabilitas, partai-partai politik juga memilliki resistensi. Tingkat resistensi yang dimiliki partai menjadi gambaran, partai yang memiliki elektabilitas tinggi juga menghadapi tingkat penolakan dari mereka yang bukan pemilih partai tersebut.
Hal ini ditunjukkan, PDIP sebagai contoh, memiliki resistensi sebesar 17% di luar pemilihnya. Demikian pula dengan beberapa partai lain seperti PKS, resistensi publik di luar pemilihnya ada sebesar 4,5%. Sementara PSI memiliki resistensi sebesar 5,5%.
Discussion about this post