Oleh : Catur Nurrochman Oktavian
(Wakil Bendahara PB PGRI/Wakil Ketua Dewan Eksekutif APKS PB PGRI)
Prnewspresisi.com–Tahun 1981, Iwan Fals, penyanyi dan pencipta lagu legendaris, memotret nasib guru yang sangat sederhana dalam lagu ciptaannya berjudul ”Oemar Bakri”.
Lagu tersebut menggambarkan kesederhanaan sosok guru bernama Oemar Bakri yang mengabdikan diri di dunia pendidikan sejak zaman penjajahan Jepang, dengan mengendarai sepeda kumbang dan mengenakan tas hitam dari kulit buaya. Saat ini, nasib guru mungkin sedikit berbeda dari isi lirik lagu ”Oemar Bakri”.
Sejak Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengamanahkan adanya Tunjangan Profesi Guru (TPG) diberlakukan, kesejahteraan guru relatif lebih baik daripada sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan profesi non-guru, kesejahteraan kaum ”Oemar Bakri” bak langit dan bumi. Masih jauh panggang dari api.
Data menunjukkan, tingkat penghasilan guru ASN yang memperoleh TPG masih lebih rendah dibandingkan dengan aparatur sipil negara (ASN) non- guru yang bekerja di instansi pemerintah pusat ataupun daerah yang mendapatkan tunjangan kinerja (tukin).
Guru yang memperoleh TPG pun harus bersabar menanti haknya cair setiap tiga bulan sekali melalui berbagai pemberkasan. Hal ini berbeda dengan ASN lain yang tukinnya cair setiap bulan sekali tanpa dibebani berkas administratif.
Kesejahteraan guru non-ASN lebih menyedihkan lagi. Para guru yang bekerja di lembaga pendidikan swasta bonafide strata menengah atas tentu mendapatkan kesejahteraan setara upah minimum regional (UMR), bahkan lebih. Namun, guru yang mengabdikan diri di lembaga pendidikan swasta kelas menengah bawah umumnya berpenghasilan di bawah UMR. Lumayan, bagi mereka yang telah memiliki sertifikat pendidik. Para guru non-ASN bersertifikat mendapatkan TPG sebesar Rp 1,5 juta, yang dibayarkan setiap tiga bulan walaupun setelah puluhan tahun nilainya akan mengecil karena tergerus inflasi yang meningkat setiap tahun.
Dalam mendapatkan TPG, para guru harus melewati proses yang tidak mudah. Memang, pemerintah memaknai pemberian tunjangan profesi bukan semata untuk peningkatan kesejahteraan, tetapi TPG lebih diperuntukkan bagi peningkatan kompetensi guru. Berbeda halnya dengan ASN non-guru yang mendapat tukin, tanpa proses dan syarat administratif yang ribet seperti guru.
Beban tugas dan kesejahteraan
Jika dilihat dari beban tugas, guru memiliki tugas dan tanggung jawab besar yang tidak sederhana, yaitu mencerdaskan, membentuk karakter, dan menyiapkan landasan bagi masa depan anak bangsa. Guru mengemban tugas negara yang tidak ringan karena menyiapkan generasi penerus bangsa dan memahat peradaban.
Lantas, mengapa antara beratnya beban tugas dan pemberian jaminan kesejahteraan tidak linear? Seharusnya negara menjamin kebutuhan minimum para guru, termasuk masa depan pendidikan anak-anak mereka.
Bagaimana mungkin para guru dapat fokus mendidik dan mempersiapkan masa depan anak bangsa jika kebutuhan dapurnya tidak tercukupi dan masa depan pendidikan anak-anak kandungnya suram dan terabaikan? Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak bangsa dengan baik apabila anak kandungnya sendiri tidak dapat mengenyam pendidikan berkualitas hingga jenjang sarjana, akibat rendahnya penghasilan?
Ilustrasi
Rendahnya kesejahteraan guru, terutama yang berstatus honorer, menyebabkan mereka cukup banyak yang terlilit utang di bank ataupun pinjaman daring. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), profesi guru paling banyak menjadi korban pinjaman daring ilegal, yaitu 42 persen. Berdasarkan data tersebut, banyaknya guru yang terlilit pinjaman daring disebabkan impitan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan rendahnya kecakapan literasi keuangan.
Guru yang berstatus ASN pun sulit menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang sarjana menggunakan Kartu Indonesia Pintar (KIP), karena dianggap memiliki penghasilan yang cukup, sehingga tak termasuk kategori kelompok yang berhak menerima KIP/beasiswa. Meskipun, faktanya, banyak guru ASN yang harus pontang-panting mencari cara membayar biaya UKT perguruan tinggi negeri (PTN) untuk studi anak-anaknya. Sudah saatnya pemerintah menyediakan jaminan pendidikan bagi anak guru, atau mengeluarkan regulasi pemberian beasiswa pendidikan bagi anak-anak guru, yang kuliah di PTN.
Harus diakui secara jujur, guru memang belum menjadi profesi bergengsi dan diminati masyarakat dibandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan masa depan yang cerah. Mereka yang akhirnya terjun menekuni profesi ini mungkin karena tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai di bidangnya.
Penulis meyakini pemerintah tak berdiam diri dan terus berupaya mengatasi disparitas kesejahteraan guru. Namun, para guru tampaknya harus bersabar menantikan kebijakan yang konkret.
Kencangnya aspirasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi guru dalam menyuarakan peningkatan kesejahteraan, perlindungan hukum, dan kompetensi guru kerap hanya teronggok di pojok ruang yang hampa dan sunyi dari perhatian publik. Berbagai pemikiran, ide, gagasan, dan opini para guru hanya bertebaran di meja-meja diskusi dan kolom-kolom media menantikan implementasi konkret para pengambil kebijakan.
Mendongkrak minat menjadi guru
Menjadi guru bukan sekadar pengabdian tanpa kepastian status kepegawaian, jenjang karier, jaminan sosial, dan juga perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya.
Suatu waktu, penulis berkesempatan berkunjung ke salah satu sekolah menengah atas swasta unggulan di salah satu kabupaten di Jawa Barat dan melakukan survei kecil pada siswa tentang profesi yang kelak akan mereka pilih di masa depan. Ternyata hampir semua siswa menjawab akan memilih profesi dokter, insinyur, pengacara, hakim, dan profesi bergengsi lainnya. Tidak satu pun siswa memilih akan menjadi guru.
Pemerintah perlu segera mengambil lompatan terobosan serius yang progresif dan tak linear. Selain memperbaiki mutu lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan), perbaikan dalam sistem penggajian, penghargaan, dan jaminan sosial lainnya mungkin akan menjadi langkah jitu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru.
Perlu perbaikan menyeluruh dalam sistem pengupahan guru ASN dan non-ASN sehingga mampu menarik minat anak-anak muda potensial yang cerdas dan berbakat untuk menekuni profesi guru. Amanah konstitusi mengenai alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah perlu dioptimalkan penggunaannya untuk perbaikan sistem penggajian, remunerasi, dan peningkatan kompetensi para guru.
Tanpa upaya sungguh-sungguh dan konkret untuk mengentaskan para guru dari impitan pemenuhan kebutuhan ekonomi karena kesejahteraan yang rendah, lirik lagu ”Oemar Bakri” Iwan Fals akan terus relevan sampai kapan pun. Entah sampai kapan jalan panjang kesejahteraan guru mencapai titik akhir.
Harapan dan doa para guru di hari ulang tahunnya agar pemerintah baru kelak mampu memberikan kado istimewa berupa perbaikan serius terhadap kesejahteraan guru. Kaum guru sangat menantikan kebijakan yang konkret dan bukan sekadar janji-janji belaka.
Selamat Hari Guru Nasional 2023 dan Hari Ulang Tahun Ke-78 PGRI.(***)
Sumber : Kompas