Oleh Yoniza Etrisno, S.Pd.I., Gr
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)
PRnewspresisi.com–Ada ironi yang tumbuh pelan-pelan dalam kehidupan digital kita. Setiap hari, jari kita begitu lincah menari di atas layar gawai: mengomentari sesuatu, membagikan tautan, mengunggah pendapat, atau sekadar menimpali perdebatan yang lewat di linimasa. Namun di saat yang sama, mata kita semakin jarang berhenti pada halaman buku, pada paragraf panjang, pada pengetahuan yang membutuhkan waktu untuk dipahami. Kita cerewet di media sosial, tetapi malas membaca.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan gaya hidup. Ia adalah gejala sosial yang menunjukkan bagaimana masyarakat perlahan bergeser dari budaya mendalami, menjadi budaya bereaksi. Media sosial menawarkan segalanya secara instan—informasi, hiburan, bahkan ruang ekspresi. Tapi kecepatan itu sering menelan satu hal penting: kemampuan untuk berhenti sejenak dan mencerna.
Indonesia adalah contoh paling jelas dari paradoks ini. Kita adalah salah satu bangsa paling vokal di dunia maya, tetapi data literasi kita tertinggal jauh. UNESCO pernah menyebut minat baca kita hanya 0,001 persen. Artinya, dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar suka membaca. Badan Pusat Statistik (2024) juga mencatat rendahnya aktivitas membaca sejak usia dini. Ini bukan sekadar angka, tapi cermin yang memantulkan kecenderungan kita hari ini—lebih sibuk memberi komentar daripada mengasah pemahaman.
Ketika budaya membaca melemah, ruang digital pun mudah dipenuhi suara-suara yang digerakkan oleh emosi, bukan pengetahuan. Banyak yang hanya membaca judul, lalu merasa cukup untuk menyimpulkan. Banyak pula yang memutuskan untuk membagikan informasi tanpa memikirkan dampaknya. Di era post-truth, kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta, tetapi oleh seberapa cepat suatu kabar menyebar dan seberapa kuat ia menyentuh sisi emosional kita.
Padahal, membaca selalu memiliki tempat istimewa dalam tradisi intelektual—terutama dalam Islam. Perintah pertama yang diwahyukan adalah Iqra’—bacalah. Membaca bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan proses penyucian akal: dari ketidaktahuan menuju pemahaman, dari prasangka menuju kebijaksanaan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa orang yang mengetahui tidak sama dengan orang yang tidak mengetahui. Sebuah pesan sederhana, namun semakin terasa relevansinya ketika linimasa media sosial dipenuhi komentar yang tidak lahir dari pengetahuan.
Budaya literasi yang melemah tidak hanya memengaruhi cara kita berkomentar, tetapi juga cara kita memahami diri sendiri dan dunia. Bangsa yang tidak terbiasa membaca akan kesulitan menyerap ilmu pengetahuan, lambat beradaptasi, dan mudah terpecah oleh isu-isu yang berkembang. Ia tumbuh menjadi masyarakat yang reaktif, bukan reflektif.
Maka, tantangan kita hari ini bukan sekadar membangun kehadiran di dunia digital, tetapi menjadikan kehadiran itu bermakna. Kita perlu mengembalikan membaca sebagai aktivitas harian, sebagai bagian dari perawatan jiwa dan pematangan pikiran. Membaca tidak hanya mengisi otak, tetapi juga menata cara kita berbicara, menulis, memahami, dan merespons segala sesuatu.
Di tengah riuhnya media sosial, membaca adalah jeda yang menyelamatkan. Ia membantu kita menyaring informasi, melihat masalah dengan lebih jernih, dan menyampaikan pendapat dengan lebih bijak. Ketika kita membaca, kita belajar untuk memilih kata yang tepat, menghargai perspektif orang lain, dan menghindari reaksi berlebihan yang hanya menambah kegaduhan.
Cerewet di media sosial tidaklah salah. Yang menjadi persoalan adalah cerewet tanpa dasar. Ruang digital membutuhkan suara-suara yang tidak sekadar keras, tetapi juga terdidik; tidak hanya berani, tetapi juga bijak. Dan satu-satunya jalan menuju itu semua adalah dengan memperkaya diri melalui membaca.
Mungkin sekarang waktunya bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin menjadi sekadar gema di tengah keramaian dunia maya, atau menjadi suara yang membawa makna?











