Oleh:DR. H. Ramadhani Kirana Putra,SE, M.M (Wakil Walikota Solok)
Kota Solok, PRnewspresisi.com–“Budaya malas membaca adalah kekuatan yang melemahkan bangsa dan negri ini dari segala aspek ekonomi, sosial dan budaya (Soesilo Toer)”.
Goresan tersebut merupakan petikan dari tulisan Soesilo Toer yang (lahir 17 Februari 1937). beliau merupakan adik dari sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Selain dikenal sebagai lulusan doktor universitas di Uni Soviet, dia juga mengurusi Perpustakaan Pataba.
Dalam kata bijak nya itu soesilo Toer menyimpulkan bahwa maju atau mundurnya suatu negri ini terlihat dari Budaya membaca masyarakatnya. Namun Saat ini Banyak generasi muda menjadi generasi malas membaca, akhirnya pengetahuan yang dimiliki tersebut tidak mampu untuk bersaing dengan daerah lain bahkan negara luar.
Rendahnya minat baca masyarakat kita sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsanya, sebab dengan rendahnya minat baca, mereka tidak bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi di dunia, di mana pada akhirnya akan berdampak pada ketertinggalan sebuah bangsa.
Perdaban suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuannya, sedangkan kecerdasan dan pengetahuan di hasilkan oleh seberapa banyak ilmu pengetahuan yang di dapat, sedangkan ilmu pengetahuan di dapat dari informasi yang diperoleh dari lisan maupun tulisan. Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang haus akan ilmu pengetahuan semakin tinggi peradabannya.
Budaya suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi, faktor kebudayaan dan peradaban dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan dari temuan-temuan para kaum cerdik pandai yang terekam dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi yang sangat berguna bagi proses kehidupan social yang dinamis.
Bagi Generasi muda yang malas membaca akan sulit dalam bersosialisasi, karena wawasan yang kurang, akhirnya akan sulit mengembangkan potensi dalam diri.
Alasan pertama yang membuat masyarakat di Indonesia mayoritas malas dalam membaca adalah adanya tradisi bertutur secara lisan. Masyarakat kita tentu dekat dengan kebiasaan bercerita mengenai cerita-cerita rakyat. Sehingga mendengarkan penuturan secara lisan dianggap lebih menarik dibanding membaca dalam bentuk tulisan.
Sementara itu, sekolah tidak selalu mampu menumbuhkan kebiasaan membaca bagi para siswa. Dengan kondisi kualitas buku pelajaran yang memprihatinkan, padatnya kurikulum, dan metode pembelajaran yang menekankan hafalan materi justru “membunuh” minat baca.
di Era globalisasi hari ini, masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Di rumah-rumah, buku masih menjadi barang yang langka. Orang-orang lebih rela mengeluarkan uangnya membeli majalah fashion ketimbang membeli buku.
Coba lihat di rak buku kita, berapa banyak buku pengetahuan umum atau buku agama yang kita punya? Coba bandingkan dengan koleksi pakaian, sepatu dan aksesoris demi mempercantik diri. Dalam sebulan, berapa banyak budget yang kita habiskan untuk kosmetik, lalu bandingkan dengan budget untuk membeli buku. Apakah setara?
Mari kita lihat bagaimana bangsa nonmuslim memiliki minat baca yang tinggi. Katakan saja Amerika dan Jerman. Di negara Paman Sam, rata-rata warganya yang berusia 18 tahun biasanya membaca 11 sampai 20 buku dalam setahun. Sedangkan kita, kira-kira berapa buku yang habis kita baca dalam setahun?
Pun Jerman, negara di peringkat ke-8 dalam hal minat baca ini juga tidak kalah kerennya. Sebanyak 53% orang Jerman membeli buku untuk keperluan pribadi, dan 38% membeli buku untuk dihadiahkan kepada orang lain. Membaca buku bagi masyarakat Jerman lebih populer ketimbang ke mall, ke bioskop atau ke tempat-tempat lain yang menghabiskan uang. Lalu, bagaimana dengan kita, sudahkah kita mementingkan buku dan membaca ketimbang belanja dan menonton drama Korea?
Berbanding terbalik dengan bangsa kita, masyarakat Barat ternyata lebih mencintai buku dan membaca. Sementara kita lebih suka menghabiskan waktu menatap gadget dan bermain di sosial media. Dikutip dari data wearesocial per Januari 2017, orang Indonesia mampu menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Namun anehnya, saat membaca justru malah mengantuk.
Lantas, bagaimana kita bisa bersaing dengan negara-negara lainnya dan bercita-cita menjadi negara hebat? Jika membaca saja tidak minat. Tanpa membaca generasi kita akan tetap berada di taraf kecerdasan berpikir yang rendah, tidak bisa berpikir kritis, dan tidak bisa menghasilkan kreativitas demi kemajuan umat.
Tanpa membaca, maka jangan salah jika kita akan terus menjadi negara pengekor dan inferior. Menjadi objek jajahan bangsa yang kuat baik secara fisik maupun pemikiran. Kita tidak bisa mengisi kemerdekaan bangsa yang susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Yang terburuk, kita akan tetap menjadi negara tertinggal dan gagal.
Di dalam peradaban Islam, membaca memiliki peran yang sangat penting dalam kemajuan umat. Sejarah mencatat bagaimana puncak kejayaan peradaban Islam, bisa dicapai karena hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan. Tentunya ini tidak bisa terjadi jika umat Islam tidak rajin membaca. Tanpa membaca, tak akan ada sejarah kegemilangan Islam yang selalu kita banggakan.
Membaca adalah salah satu wujud takwa. Jalan untuk merealisasikan perintah Allah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam di surat pertama. Yakni “Iqra'” yang bermakna bacalah!
Allah maha mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Lihatlah saat manusia mengabaikan perintah-Nya. Kebodohan dan kemaksiatan merajalela. Budaya taklid tumbuh subur. Tanpa pemahaman literasi, rakyat kecil akan mudah dibohongi. Tak menutup kemungkinan informasi dan kebijakan yang keliru bisa diterima mentah-mentah. Lantas tidak ada yang tersisa kecuali kemerosotan berpikir dan hidup di ambang kehancuran.
Karenanya sebagai bangsa yang besar dan terlebih muslim kita wajib meningkatkan budaya baca. Membaca adalah bagian dari peradaban Islam. Malas membaca adalah bentuk pengkhianatan kita sebagai umat terbaik yang dikirim Tuhan untuk memperbaiki zaman.