Di balik keluhuran sifat dan perilaku kaum santri tersebut mereka memiliki kemampuan luar biasa dan mumpuni di luar keahliannya (selain di bidang agama). Salah satunya di bidang diplomasi.
Dalam konteks sumbangsih di bidang diplomasi, kaum santri setidaknya telah menorehkan “tinta emas”, antara lain melalui Komite Hijaz pada 1920-an dan melalui misi diplomasi membantu penyelesaian konflik di Thailand Selatan pada dekade pertama abad ke-21.
Khusus dalam misi perdamaian di Tahiland Selatan, PBNU ketika itu turun langsung dibawah kepemimpinan Ketua Umumnya, KH Ahmad Hasyim Muzadi (almarhum).
Sebagai sebuah soft power diplomacy, diplomasi santri itu sendiri hadir dan mulai berkiprah di bumi Nusantara pada abad ke-20 melalui Komite Hijaz, beberapa dekade sebelum Indonesia merdeka. Komite Hijaz notabene menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926.
Komite itu dibentuk kalangan ulama di Indonesia untuk meminta penguasa baru di Arab Saudi yang mendukung faham Wahabi dibawah kepemimpinan Ibnu Sa’ud agar umat Islam di Indonesia tetap dapat melaksanakan ajaran agama dengan mengikuti salah satu mazhab Ahlussunnah wal jama’ah versi Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hambali.
Discussion about this post