Kontroversi Firli dan Potensi Rusaknya Kasus Syahrul
Langkah Firli meneken surat penangkapan itu menuai kontroversi. Selain rentan konflik kepentingan, Firli dinilai menyalahgunakan kewenangan. Pasalnya, revisi Undang-Undang KPK telah menempatkan pimpinan komisi antikorupsi sebagai aparatur sipil negara, bukan lagi penyidik.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan tindakan Firli menandatangani surat penangkapan itu sarat konflik kepentingan. Fickar mengatakan, sebelum ada penuntut umum dan penyidik KPK dari kepolisian dan kejaksaan yang diperbantukan ke KPK, komisioner bertindak sebagai penyidik atau jaksa penuntut umum. Tapi, setelah ada jabatan yang disebut penyidik dan penuntut umum KPK, komisioner bukan lagi penyidik ataupun penuntut umum. “Karena itu penyimpangan yang terjadi ini sebaiknya diuji di praperadilan,” ujarnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda juga menilai KPK telah melanggar undang-undangnya sendiri dalam hal penangkapan Syahrul. “KPK menjalankan kewenangannya secara tidak etis, sudah memanggil Syahrul Yasin Limpo untuk diperiksa pada 13 Oktober, tapi justru menganulirnya tanpa alasan dengan menangkap orang yang sama pada 12 Oktober,” katanya.
Mochamad Praswad Nugraha, Ketua IM57+ Institute—sebuah organisasi yang mewadahi mantan pegawai KPK—mendesak agar Firli segera dinonaktifkan. Dia menilai kasus dugaan korupsi oleh Syahrul Yasin dan kasus dugaan pemerasan Firli sama pentingnya untuk diusut tuntas. Dia khawatir besarnya potensi Firli menyalahgunakan kewenangannya jika tetap menjabat pimpinan KPK. “Dan ini justru bisa mendelegitimasi proses penyidikan KPK terhadap Syahrul Yasin Limpo,” kata Praswad.
Juru bicara KPK Ali Fikri menegaskan Firli tetap berwenang menandatangani surat perintah penangkapan. Sebab, kata Ali, pimpinan KPK merupakan pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum pemberantasan korupsi. “Maka secara ex officio harus diartikan juga pimpinan sebagai penyidik dan penuntut umum. Itu artinya, pimpinan KPK tetap berwenang menetapkan tersangka dan lain-lain,” katanya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengamini pernyataan Ali Fikri. Alex menyebutkan penandatanganan surat perintah penyelidikan, surat perintah penyidikan, ataupun surat perintah penangkapan oleh pimpinan KPK sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diatur dalam Pasal 6 UU KPK. “Di situ tugas KPK melakukan pencegahan, koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” kata Alexander di Gedung Juang KPK.
Alex menegaskan yang diberi mandat dalam undang-undang tersebut adalah pimpinan, bukan penyelidik, penyidik, ataupun penuntut umum. Menurut dia, meski tidak disebut dalam undang-undang hasil revisi, pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi lembaga. “Kalau bukan pimpinan, siapa lagi? Kan, enggak mungkin juga Dewan Pengawas?”(***)
Sumber : Tempo