Sejatinya Putusan MK Nomor: 90 itu bukan self-executing. Artinya, harus ditindaklanjuti terlebih dulu oleh KPU dengan mengubah Peraturan KPU No. 19/2023 (PKPU No. 19/2023) yang lama. Tapi hal itu tidak dilakukan KPU. Bawaslu juga sikapnya pasif padahal menurut UU Pemilu harusnya super aktif dan harus melakukan pengawasan melekat.
Politisasi bansos juga tak kalah serunya. Bahkan orang-orang istana termasuk Presiden Joko Widodo turun tangan untuk memastikan kemenangan putranya. Netralitas Polri, TNI, birokrasi, aparat desa menjadi persoalan penting yang diperdebatkan dalam persidangan di MK.
Kuasa hukum Paslon 02 selalu berkelit dengan alasan bahwa MK tidak berwenang mengadili, karena MK hanya berwenang mengadili hasil (outcome) dan bukan proses. Kalau terkait proses, kata mereka, harus diselesaikan di tingkat KPU, Bawaslu atau Gakumdu. Masalahnya, kalau penyelenggara Pemilu tidak menjalankan tugasnya dan kemudian diajukan permohonan kepada MK oleh paslon 01 dan 03, apakah MK harus menolak? Terus siapa yang akan memutuskan sengketa Pilpres?
Sebagai satu-satunya perempuan di dalam majelis hakim MK, Prof. Enny sangat diharapkan menjadi Dewi Themis atau Dewi Keadilan yang merupakan personifikasi dari keadilan dan kehendak dalam mitologi Yunani yang sangat dihormati para dewa. Themis sering digambarkan dengan pedang keadilan dan timbangan. Themis akan menutup matanya dan menebas dengan pedangnya demi keadilan kepada siapa pun yang menghalangi tegaknya keadilan. Ia akan menegakkan keadilan meskipun langit runtuh (fiat justitia ruat caelum).
Adalah wajar, sebagai satu-satunya hakim MK perempuan, Prof. Enny sangat diharapkan menjadi pejuang emansipasi keadilan sebagaimana Raden Ajeng Kartini, dan Dewi Themis (Dewi Keadilan) yang mampu menyingkap tabir yang menyelubungi nilai-nilai kebenaran. Kata Kartini: habis gelap terbitlah terang!