Oleh : Kurniadi Ilham
(Trainer PPA Institute)
PRnewsspresisi.com–Siang kemarin ada sahabat yang nelpon saya. Lama kami ngobrol sampai saya harus pakai headset untuk mengamankan kuping yang mulai panas. Sepertinya bukan ngobrol sih, tapi lebih ke curhat. Obrolan kami tidak seimbang karena dia lebih mendominasi dengan berbagai cerita dan keluh kesahnya.
“Rumah sudah tokok babunyi.”
Ini yang sering diulang-ulangnya dalam sesi curhat tadi. Seakan-akan menggambarkan kekesalan hatinya. Sungguh berat beban yang ditanggungnya.. (wkwkwk…..)
“Rumah sudah tokok babunyi.”
Ini adalah suatu ungkapan dalam bahasa Minang. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya begini: “Rumah selesai dibangun, tapi masih ada terdengar bunyi ketukan palu.”
Ungkapan ini menggambarkan situasi yang sering terjadi di masyarakat. Tentang kebiasaan mengomentari hal-hal yang telah selesai dikerjakan orang lain.
Memang “upek-puji” itu hal yang biasa. Tidak ada yang sempurna, hingga terbuka kesempatan untuk mengomentari apapun. Tapi ini beda, bukan hanya sekedar berkomentar, tapi lebih parah lagi sampai level “mancikaroi”. Dalam bahasa Indonesia, mancikaroi ini mungkin bisa diartikan dengan julid.
Biasanya yang suka “mambunyian tokok” ketika rumah sudah, atau berkomentar atau “mancikaroi” atau julid ini adalah mereka yang tidak hadir dalam proses utamanya. Mereka, entah karena alasan apa, tidak ikut serta “membangun rumah” itu. Tapi begitu pekerjaan itu selesai dikerjakan orang lain, mereka akan tampil sebagai pengkritik yang hebat. Ada saja salah yang tampak, ada saja kekurangan yang terlihat, ada saja yang nggak pas, ada yang kuranglah, ada yang nggak sesuailah. Bahasa halusnya, mereka sibuk memberikan saran ini-itu, begini-begitu, seharusnya, sebaiknya dan seyogyanya.
Orang-orang ini harusnya sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu sebuah hal yang kontraproduktif. Bisa saja diartikan mengecilkan peran yang telah dilakukan oleh orang lain. Bisa saja membuat orang tersinggung, lalu “amba pusek”nya dan “patah salero” nya.
Kalau ingin berkontribusi seharusnya hadir dari awal, ikut berpeluh-peluh dengan yang lain sampai pekerjaan itu tuntas. Jangan datang belakangan lalu bertindak sebagai si paling hebat, mengkritik dan menyalah-nyalahkan pekerjaan orang.
Atau jika memang terpaksa datangnya terlambat, ikuti sajalah ayunan ombak yang ada. Amini saja apa yang sudah diperbuat orang. Pujilah rumah yang telah selesai dibangun itu. Lalu, pelan-pelan baru masukkan saran anda. Tentu dengan cara yang sopan, elegant dan nggak nyolot.
Yang penting, hargai legitimasi perasaan orang yang telah berpeluh-peluh menyudahkan rumah itu.
Ingat, anda baru datang.
Jangan sampai orang-orang itu bertanya: “kemaren-kemaren, kemane aje lo…???”.(*)
sumber Fb Kurniadi Ilham