By Dahlan Iskan
Prnewspresisi.com–BUKAN soal terbuka atau tertutup. Dibicarakan saja sudah bagus. Pertanda ada evaluasi. Ada renungan. Ada pemikiran. PDI Perjuangan yang memulai: baiknya di Pemilu 2024 sistem terbuka dikembalikan ke tertutup. Sayang, belum sampai terjadi diskusi yang luas, sudah keburu di-prungges: delapan partai sepakat menolak ide itu. Menolak begitu saja. Tanpa solusi dan evaluasi.
Sudah 20 tahun bangsa ini menjalani Pemilu sistem terbuka. Ini awalnya sebagai koreksi terhadap sistem tertutup selama Orde Baru.
Kelemahan tertutup waktu itu: “Rakyat tidak kenal siapa wakilnya di DPR”. Itulah kritik terbesar terhadap sistem tertutup. “Mereka bukan wakil rakyat. Mereka wakil partai”.
Koreksi terhadap Orde Baru dilanjutkan sampai ke soal suara terbanyak. Nomor urut tidak terpenting lagi. Memang partai yang tetap mencalonkan. Partai pula yang menyusun nomor urut. Tapi soal jadi anggota DPR atau tidak tergantung banyaknya suara yang diperoleh. Pun bila selisih suara itu hanya 6. Seperti yang dialami Thoriqul Haq yang sekarang bupati Lumajang.
Sejak itu sering terjadi ”perang di dalam selimut”. Calon yang oleh partai sudah ”dilorot” ke nomor bawah tetap bisa jadi anggota DPR. Siapa yang populer dia/ia yang terpilih. Lebih parah lagi: uang jadi panglima. Kualitas nomor dua.
Mulailah terjadi politik uang. Kian lama kian menggila. Lalu jadi budaya.
Menjadi anggota DPR/DPRD sudah bisa dimatematikakan. Satu kursi perlu berapa suara. Satu suara perlu berapa duit. Maka dengan menyediakan uang tertentu dapat jaminan terpilih.
Discussion about this post