Kalau calon tidak punya uang bisa ijon proyek. Bisa balik modal. Jadilah hitungan bisnis agenda utama di legislatif.
Itu erosi dari satu segi. Sisi lain: partai tidak bisa membuat perencanaan: siapa yang akan didudukkan di komisi keuangan di DPR nanti. Siapa yang di komisi hukum. Komisi pendidikan. Komisi energi. Dan seterusnya.
Dengan sistem terbuka, partai belum tahu apakah yang terpilih nanti punya kapasitas untuk duduk di komisi tertentu. Bisa jadi yang terpilih tidak punya kapasitas di komisi mana pun. Banyak yang akhirnya anggota DPR itu mewakili dirinya sendiri
Yang terpilih belum tentu mampu. Yang mampu belum tentu terpilih”.
Itulah penyakit bawaan demokrasi murni.
Dan kita menikmati penyakit itu.
“Apakah harus kembali tertutup?
Delapan partai sudah menolaknya. Tapi tidak memberikan solusi untuk keluar dari penyakit itu. Mungkin mereka hanya akan mengandalkan pada proses: lama-lama kita akan dewasa. Kalau rakyat sudah sejahtera tidak akan mau lagi dibeli. Ini sama dengan harapan lama dulu: kalau gaji dinaikkan tidak akan ada lagi korupsi.
“Saya setuju kembali ke sistem tertutup,” ujar Prof Dr Syukur Abdullah, dekan Fakultas Sosial Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Saya bertemu Prof Syukur Rabu lalu. Di Unhas. Sama-sama hadir di ujian terbuka calon doktor komunikasi ke-4 Unhas: Erniwati. Ia yang memimpin sidang. Saya salah satu dari 6 penguji.
Dengan sistem tertutup orang memang akan memilih partai. Lama-lama hanya sedikit partai yang bisa bertahan. Terjadilah penyederhanaan partai secara alamiah. Pun tanpa perlu membatasi hadirnya partai baru. “Silakan saja partai baru hadir, tapi akan sulit lolos ke Senayan,” ujar doktor filsafat politik lulusan Bonn, Jerman ini.
Discussion about this post