Penulis :Dedi hermanto
PRnewspresisi.com–Ada yang bilang bahwa negeri ini “negeri selembar kertas”. Masyarakat kita ‘masyarakat selembar ijazah’. Silakan ngomel sistem pendidikan kita tidak bermutu, kesempatan berpendidikan tidak paralel dengan kesempatan memperoleh kerja, atau canangkan proyek deschooling soicety (masyarakat tanpa sekolah), tapi pokoknya kalau tidak punya ijazah, ya nasibnya dijamin kalah dibanding dengan yang punya ijazah”.
Kita lihat saja siswa siswi kita disekolah, sewaktu ujian mereka berusaha untuk mendapatkan nilai tertinggi, namun bukan dengan usaha sendiri, ada yang didapat dengan hasil contek mencontek. Bahkan Supaya hasil yang diperoleh maksimal, berbagai cara dilakukan Baik halal maupun haram. Sedangkan guru disekolah, orang tua di rumah maupun masyarakat disekitar hanya menilai hasil akhirnya saja melalui selembar kertas.
Seorang anak selama ini sudah dilabeli hebat apabila memiliki nilai yang tinggi dan mendapat juara di sekolah. Padahal ujian semester diadakan supaya bisa mengevaluasi sejauh mana kemampuan seorang dalam berproses selama 6 bulan tersebut dan itu semua sudah jadi tradisi di negri kita,sampai ke tingkat sarjana baik S1, S2, S3 bahkan es lilin.
Jika dikalkulasikan, orang yang tamat sarjana belum tentu memiliki penghasilan yang lebih mapan daripada orang yang tidak memiliki ijazah.
Apakah ada lulusan S3 yang mau berjualan es? Adakah saat ini pendidikan kita yang membuat mahasiswa mau menjadi petani atau nelayan?
Pertanyaan itu tidak perlu di jawab. Sebagian orang di Indonesia terutama penyandang Titel tinggi menganggap bahwa Pekerjaan pinggiran misalnya penjual es, penjual somay, petani, penjual warteg, nelayan, tukang keruk sampah itu semua mereka kategorikan kedalam pekerjaan kelas bawah.
“Pekerjaan itu hanyalah untuk orang-orang yang berpendidikan rendah. Pekerjaan yang masuk dalam kategori srata sosial rendah dan tidak layak dilirik sedikitpun”,sebut mereka.
Sebaliknya, Orang yang berpendidikan tinggi hanya mau duduk di kantor. Menjadi pegawai dan mendapatkan upah bulanan. Berangkat pagi pulang siang atau sore hari dengan harapan masa tua mendapatkan gaji pensiun. Kalau perlu, menjadi anggota DPR agar uang yang didapat berlimpah.
Tulisan ini bukan berarti sekolah atau kampus harus dibubarkan. Hanya sebuah renungan, bahwa sudah sejak lama, pendidikan kita tidak banyak berubah. Malahan terasa semakin menurun kualitasnya. Tulisan ini hanyalah sebuah renungan penulis secara pribadi tentang kondisi kekinian dunia pendidikan yang dirasakan masih belum optimal. Mereka masih bersugesti dengan menilai strata seseorang dari selembar kertas.
Coba kita tanya pada pemain sepak bola kelas ikan paus. Apa mereka diterima di club ternama semacam barcelona harus memiliki IPK 4 atau cumload?
Di kampung saya juga ada yang tidak tamat SD tapi sekarang jadi orang kaya.dulu tinggal di pondok pondok. Sekarang di depan rumahnya berjejer mobil fortuner, honda jazz, crv, pajero dan beberapa truk. Dia menjadi petani sukses hingga kini Usahanya telah menggurita dimana mana.
apakah hasil kerja kerasnya tadi butuh nilai yang bagus? Pendidikan yang hanya dijadikan industri, hasilnya adalah selembar ijazah yang tak bermakna apapun.
Kenapa saya sebut pendidikan hanya dijadikan industri, sebab pendidikan kita masih sangat mahal. Berapa banyak rakyat Indonesia yang akhirnya tidak bisa sekolah. Untuk masuk perguruan tinggi negeri saja harus membayar uang puluhan juta.
Harapan penulis kedepannya Jangan ada lagi ada anak anak Indonesia yang tidak sekolah. Kemudian, lulusan sekolah itu ditampung pada universitas yang menjadikan mereka mahasiswa yang mau mencari ilmu pengetahuan. Bukan pada model universitas yang menurut kata Cak Nun menghasilkan “masyakarat selembar ijazah”
untuk kemajuan bangsa ini sebenarnya ada pada pendidikan. Kita tentu memiliki asa, ada pembenahan secara radikal ( indonesia sudah mulai berbenah kesana) terhadap pendidikan di Indonesia yang saat ini masih berproses merubah mindsite para guru berbalut guru penggerak yang di gagas Mentri Muda Nadiem Anwar Makarim. Paling tidak, hal yang paling mendasar, semua anak Indonesia tidak ada yang putus sekolah.